Penulis: Muhammad Ishom Elsaha
Sabtu 5 Oktober 2019
Atorcator.Com - Wajah-wajah sumringah para wakil
rakyat sesudah diambil sumpah menghiasi halaman berita media cetak dan
elektronik nasional. Mudah-mudahan gambar itu mencerminkan ketulusan para
pemimpin negeri ini untuk mengemban amanah rakyat yang telah memilih mereka.
Terlebih para wakil rakyat yang dengan lantang bersuara: “Demi Allah, saya
bersumpah!”
Ikrar sumpah bagi pejabat merupakan
ungkapan kesanggupan mengemban amanah untuk memimpin, mengayomi, dan
menghadirkan kemaslahatan bagi rakyat. Ikrar ini tak ubah seperti pernyataan
seorang wali anak yatim yang bertekad mengantarkan masa depan asuhannya agar
sejahtera di kemudian harinya.
Tanggungjawab pemimpin atas rakyat
banyak kesamaannya dengan tanggung jawab wali atas anak yatim. Dalam Islam ada
kaidah yang menjelaskan:
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“tasharraful imam ‘alarra’iyyah
manuth bil-maslahah”
“Tata kelola pemerintah untuk
rakyat bertujuan untuk kemaslahatan.”
Ulama Mazhab Syafi’iyah yang
pertama kali menyusun kaidah politik itu mengaku terinspirasi dari kewajiban
dan tanggung jawab wali terhadap anak yatim.
Dalam kitab al-Asybah
wa al-Nazdair karya
as-Suyuthi halaman 121 dijelaskan redaksi awal kaidah yang disusun imam Syafi’i
itu ialah:
منزلة الامام على الرعية بمنزلة الولي من اليتيم
“manzilatul imam ‘ala al-ra’iyyah
bi manzilatul wali min al-yatim”
“kedudukan pemimpin atas rakyat
sebagaimana kedudukan wali terhadap anak yatim”.
Imam as-Suyuthi berpendapat bahwa
kaidah ini bersumber dari satu riwayat al-Barra’ bin Azib tentang pernyataan
Umar bin Khattab:
اني انزلت نفسي من مال الله بمنزلة اليتيم، ان احتجت اخذت منه، فاذا
ايسرت رددته، فان استغنيت استعففت
“Inni anzaltu nafsu min malillahi
bi manzilati al-yatim. Inihtajtu akhadtu minhu, ga isda aysartu radadtuhu, fa
inistaghnaitu ista’faftu”
“Aku menempatkan diriku dari
sumberdaya alam warisan Tuhan sebagaimana kedudukan ku pada anak yatim. Jika
aku butuh maka aku ambil, jika aku punya aku kembalikan lagi, dan jika aku tak
butuh aku tetap menjaganya”.
Rakyat pemilih pada dasarnya
anak-anak yatim yang telah ditinggalkan induknya. Mereka menyandarkan nasibnya
melalui wakil-wakil rakyat yang terpilih dalam pemilihan umum. Jadi para
pejabat merupakan tumpuan dan harapan orang-orang yatim yang hidup sebatang
kara. Tugas para pejabat adalah mensejahterakan sisi lahir dan batin rakyatnya,
dan bukan sebaliknya menyia-nyiakan mereka.
Oleh sebab itu, tetaplah bersumingah!
Tak perlu suntuk dan kalut! Asalkan “anak-anak yatim” itu terpenuhi hak-haknya
maka para wali dan wakilnya akan bahagia di dunia dan akhirat. Amiin
*Tulisan sebelumnya dimuat di islami.co