Penulis: Nurbani Yusuf
Sabtu 29 Nopember 2019
Bersyukur Jumat pagi ini saya bersama ribuan jamaah yang lain duduk di atas tikar plastik pada halaman pondok pesantren Roudhotut Thalibin Rembang, Mendengar dengan ta’dzim Gus Mus bernasehat majelis nya sederhana, tapi padat berisi. Tak ada sinar slide atau power point yang melelahkan kata-katanya berkesan, berat menghunjam dan mudah di mengerti.
Pada siang usai Jumat tiga bulan lalu di masjid Nogotirto terasa istimewa. Dua ulama besar di negeri ini bertemu, saling memeluk melepas rindu. Dua ulama sepuh Kyai Musthafa Bisri dari Rembang yang lebih dikenal Gus Mus berkunjung ke kediaman Prof Dr Syafi'i Maarif yang akrab dipanggil Buya Syafi'i. Datang tanpa pengawalan, beracara tanpa protokoler.
Tiada yang istimewa kecuali silaturahimnya adab dan kerendahhatiannya. Saling mengunjungi ditengah sibuk yang padat. Gus Mus usai Takziah karibnya di Jogja menyempatkan rawuh dan shalat Jumat di tempat di mana Buya Syafi'i tinggal.
Berbagai hikmah bisa kita ambil dari dua ulama bersahaja itu. Ditengah kelimun politik yang melahirkan disparitas di kalangan umat. Kedua nya teguh ditengah, meski berbagai caci dan maki harus beliau terima. Ingin menempatkan agama pada posisi mulia tidak menjadi alat pemanis para jurkam untuk mendulang suara atau kemuliaan seseorang atau sekelompok yang mengaku paling membela agama dengan menafikkan yang lain.
Ini ujian terberatnya. Resiko 'dilawan' teman seiring. Diragukan iman nya dan tuduhan tuduhan lain yang keji katena beda pilihan dalam politik. Politik telah membuat sebagian kita gelap mata. Menganggap siapapun yang berbeda pilihan politik sebagai lawan yang harus enyah.
Tak ada salah jihad politik. Tiada keliru tegakkan syariat Islam. Tak ada cela melawan ketidak adilan dan kemunkaran lainnya. Tapi jangan putus silaturrahim—akhlaq karimah harus dijaga. Tak patut berkata kasar lagi keras. Apalagi dengan saudara sesama iman.
Tak pantas hanya karena beda pilihan politik dan beda Imam lantas sesama umat Islam saling merendahkan politik hanya media atau washilah bukan tujuan maka tak seharusnya politik memecah ukhwah. Firman Tuhan dibawah barangkali bisa jadi pelembut hati yang keras dan peneduh sikap angkuh:
"Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqan: 63)
Wallahu taala a'lam
@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar
Sabtu 29 Nopember 2019
Ilustrasi : Tagar.id |
Bersyukur Jumat pagi ini saya bersama ribuan jamaah yang lain duduk di atas tikar plastik pada halaman pondok pesantren Roudhotut Thalibin Rembang, Mendengar dengan ta’dzim Gus Mus bernasehat majelis nya sederhana, tapi padat berisi. Tak ada sinar slide atau power point yang melelahkan kata-katanya berkesan, berat menghunjam dan mudah di mengerti.
Pada siang usai Jumat tiga bulan lalu di masjid Nogotirto terasa istimewa. Dua ulama besar di negeri ini bertemu, saling memeluk melepas rindu. Dua ulama sepuh Kyai Musthafa Bisri dari Rembang yang lebih dikenal Gus Mus berkunjung ke kediaman Prof Dr Syafi'i Maarif yang akrab dipanggil Buya Syafi'i. Datang tanpa pengawalan, beracara tanpa protokoler.
Tiada yang istimewa kecuali silaturahimnya adab dan kerendahhatiannya. Saling mengunjungi ditengah sibuk yang padat. Gus Mus usai Takziah karibnya di Jogja menyempatkan rawuh dan shalat Jumat di tempat di mana Buya Syafi'i tinggal.
Berbagai hikmah bisa kita ambil dari dua ulama bersahaja itu. Ditengah kelimun politik yang melahirkan disparitas di kalangan umat. Kedua nya teguh ditengah, meski berbagai caci dan maki harus beliau terima. Ingin menempatkan agama pada posisi mulia tidak menjadi alat pemanis para jurkam untuk mendulang suara atau kemuliaan seseorang atau sekelompok yang mengaku paling membela agama dengan menafikkan yang lain.
Ini ujian terberatnya. Resiko 'dilawan' teman seiring. Diragukan iman nya dan tuduhan tuduhan lain yang keji katena beda pilihan dalam politik. Politik telah membuat sebagian kita gelap mata. Menganggap siapapun yang berbeda pilihan politik sebagai lawan yang harus enyah.
Tak ada salah jihad politik. Tiada keliru tegakkan syariat Islam. Tak ada cela melawan ketidak adilan dan kemunkaran lainnya. Tapi jangan putus silaturrahim—akhlaq karimah harus dijaga. Tak patut berkata kasar lagi keras. Apalagi dengan saudara sesama iman.
Tak pantas hanya karena beda pilihan politik dan beda Imam lantas sesama umat Islam saling merendahkan politik hanya media atau washilah bukan tujuan maka tak seharusnya politik memecah ukhwah. Firman Tuhan dibawah barangkali bisa jadi pelembut hati yang keras dan peneduh sikap angkuh:
"Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqan: 63)
Wallahu taala a'lam
@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar