Ilustrasi: @nuonline |
Penulis: Zubairi
Pondok pesantren disinyalir menjadi pilihan yang ideal bagi orangtua untuk menumbuhkembangkan karakter anak. Sebab, di sana anak bisa belajar banyak hal. Mulai dari pembinaan akhlak, belajar fikih, tasawuf, hadis dan keahlian lain yang jarang ditemukan di luar pesantren.
Ketika aturan sehari-hari di pesantren tidak ketat, santri putra-putri bisa saling bertemu setiap hari, mengenyam ilmu memang terkesan dapet. Sebab, mereka mengaji dan belajar bersama.Seperti banyak orang mengatakan ada semangat tersendiri.
Namun, untuk berperilaku baik, belum tentu. Karena ya pergaulan mereka memang termasuk bukan perilaku yang baik. Lazimnya, di pesantren putra-putri tak bisa bertemu secara bebas, ada aturan dan batasan yang berlaku. Dan ketika itu tidak ada, perilaku kurang baik bisa saja terjadi.
Saya punya dua contoh konkret tentang itu. Tapi, saya tak berani menyebut lembaganya. Yang jelas, saya tak mau berkhayal. Intinya begini, akibat dua pesantren itu tak punya aturan yang ketat, santri putra dan putri bebas bergaul di lingkungan pondok pesantren.
Bahkan, pergaulannya sudah sangat keterlaluan. Pasalnya, santri putri di dua lembaga pendidikan Islam tersebut sampai ada yang berujung hamil. Jika pesantren punya aturan yang ketat, nggak mungkin santri putra-putri bebas berbaur hingga menemukan ruang bebas untuk berbuat hal-hal yang tak senonoh seperti itu.
Akhirnya, wali santri yang lain yang memukimkan anaknya di dua lembaga itu, beberapa di antaranya rela memulangkan anaknya karena takut hal yang sama terjadi pada anaknya. Kepercayaan mereka terhadap pesantren yang diduga tempat yang ideal untuk menanamkan cara bertingkah baik tadi tampak telah luntur. Dan saya rasa, pilihan orang tua murid memulangkan anaknya karena takut tertimpa hal yang sama, adalah langkah yang tepat.
Orang tua punya keputusan
Kok bisa orangtua bersikap seperti itu dinilai tepat? Ya karena orangtua punya hak mutlak memberikan pendidikan yang baik dan tepat untuk anak-anaknya. Betul di sebuah pesantren memang punya kebijakan tersendiri, tapi bagaimana jika kebijakan itu daya magisnya telah hilang di mata wali murid? Orangtua mana yang tak kecewa?
Nah, ketika sistem kebijakan di pesantren tak lagi terlihat, keputusan orangtua memulangkan anaknya dari pondok menjadi landasan yang lebih kuat. Toh, dulunya, yang memasrahkan anak ke pondok karena keinginan orang tua bukan? Dan jika orangtua tak lagi percaya pada pesantren yang dulunya dikira sebagai tempat yang tepat, anaknya kini mau dipulangkan adalah langkah yang tepat.
Saya tak perlu juga menyebut sudah berapa banyak nama baik pesantren tercoreng sebab stakeholdernya tetap lalai belajar dari kasus-kasus yang sudah terjadi. Sudah terlalu banyak fenomena tak masuk akal yang menghantam citra baik pesantren. Kekerasan di pesantren bikin publik geram. Mulai dari kekerasan fisik hingga kekerasan seksual.
Kepercayaan publik pada pesantren perlahan pudar. Bikin mereka mikir berkali-kali untuk menaruh anaknya ke pondok mana yang aman dari pergulatan yang menyebalkan itu. Karena ya hal-hal yang bernuansa memalukan seperti itu makin hari terkesan subur di pesantren dan terkesan tidak ada sanksi sosial.
Apa sebabnya? Pihak pesantren tak mampu bangkit, dan mungkin memang tak bisa bangkit dalam menanggulangi peristiwa yang pelik semacam itu. Entah itu kiai utama di pesantren hingga jajaran pengurusnya yang tidak atau belum bisa mengatasi masalah klasik tapi menakutkan. Semua pihak jadi kena dampak negatif dong? Hayya jelas.
Wong kenyaman dan keamanan di pesantren memang terkesan tak maksimal. Kenyamanan agar terhindar dari kekerasan akhir-akhir ini begitu masif dan miris. Keamanan, santri yang seharusnya mendapat perlindungan, justru ada yang diperlakukan sebaliknya bahkan ditutup dengan alasan tak logis. Orangtua mana yang bangga melihat hal itu terjadi?
Maka, tindakan wali murid yang memulangkan anaknya, merupakan tindakan yang sah-sah saja ditiru oleh orangtua yang lain–yang sedang trauma (misalnya) terhadap bagaimana nasib buah hatinya tentang kenyamanan dan keamanan di pesantren. Ketimbang harus bergulat dengan kecemasan, jemput dan pulangkan lalu pindah ke pesantren lain yang diyakini lebih baik, adalah tindakan yang tepat dan bijak.
Keputusan seperti itu, saya rasa, wali murid tak perlu dasar dan landasan yang ndakik -ndakik dan bulet. Jika pada faktanya sudah tampak mencekam, maka orangtua murid sudah berhak pamit baik-baik ke pihak pesantren bahwa anaknya akan dipulangkan demi mencari tempat yang dirasa lebih nyaman dan aman.
Dan hemat saya, pesantren juga tak perlu mengekang. Sebab, apa alasan pihak pesantren tak mau santri dipulangkan jika keamanan dan kenyamanan tak lagi ada, misalnya.