Penulis: Zubairi
Saya beranggapan bahwa sekolah dan kampus, guru dan dosennya tidak pernah mengajari siswa atau mahasiswa untuk menulis. Dan pandangan itu memang benar–tidak sepenuhnya salah.
Saya sendiri, di sekolah dan kampus nggak diajari menulis. Nggak dikasih tugas menulis seperti bikin esai maupun opini. Alhasil, nggak punya pengalaman soal menulis. Tahu-tahu disuruh membuat makalah hingga skripsi.
Namun, kali ini beda cerita. Adalah Shulhan, pengasuh Pondok Pesantren Ar-Rasyid, Duko, Rubaru, Sumenep sekaligus seorang dosen di STIT Aqidah Usymuni yang mengajar agar mahasiswanya bisa menulis, supaya mahasiswanya tidak terbiasa memplagiasi karya orang lain.
Shulhan (saya memanggilnya Kak Shulhan) dalam mengantisipasi mahasiswanya agar tidak doyan plagiasi saat ada tugas, maka tugasnya diganti. Yakni bikin tugas mendesain dan menulis opini.
Saya mengetahui hal tersebut setelah tempo hari saya dan Kak Shulhan ngobrol santai di kediamannya.
“Yang dibutuhkan oleh mahasiswa, yang paling mendasar tapi utama, adalah bisa ngomong Bahasa Inggris dan bisa menulis. Jika tidak bisa Bahasa Inggris, paling tidak harus bisa menulis. Tahu keduanya, lebih baik.”
Mahasiswa membuat makalah minimal 500 kata tapi karya sendiri
Kak Shulhan menginstruksikan mahasiswanya saat ada tugas makalah memberi target minimal 500 kata sudah cukup. Dengan catatan: murni karya sendiri, bukan menjiplak naskah orang lain lalu diakuisisi. Kak Shulhan sangat tidak menyukai pola yang seperti itu.
Saya juga kaget mendengar ini, kok bisa-bisanya lho ya kepikiran bikin makalah cukup 500 kata tok.
“Apakah itu tidak melanggar aturan, Kak?” Tanya saya pada alumnus UIN Suka itu.
“Saya tak mau melihat banyaknya halaman makalah yang mahasiswa bikin. Saya ingin, saat makalahnya dikoreksi lewat Turnitin, isinya bukan hasil plagiat. Percuma meski ada 15 halaman tapi hasil menempel dari karya orang lain.”
“Mending 500 kata aja, yang penting hasil dari menulis sendiri, dan tentu saja harus mencantumkan sumber referensi.”
Saat UTS mahasiswa harus belajar mendesain
Saat UTS, mahasiswanya disuruh mendesain quotes dan video kreatif menggunakan aplikasi Canva dan aplikasi editing yang sejenis.
Gambaran tugasnya: mencari quotes tokoh-tokoh pesantren yang ditulis di aplikasi tersebut, dengan desain semenarik mungkin, lalu diunggah di Instagram masing-masing. Itu yang pertama.
Kedua, mahasiswanya disuruh membuat video kreatif sesuai tema tugas yang diusung. Kalau ngambil video milik orang lain, tugasnya harus dijelaskan lewat video (suara) sendiri, sumber video jangan sampai lupa dicantumkan. Lagi-lagi, diunggah ke akun instagram pribadinya.
“Nanti, setelah diposting ke Instagramnya, saya minta linknya untuk dinilai.”
Saat UAS mahasiswa wajib menerbitkan naskah di media online
Saat UAS, mahasiswa diminta menulis opini dan kudu di-submit ke media online. Contohnya, di semester 3, Kak Shulhan memberi tugas ke mahasiswanya: harus menulis opini minimal 500 kata, lalu diupload ke Kompasiana.
Di semester 7, bebas ke media apa saja, asalkan opininya terbit di media online. Kak Shulhan, nggak menargetkan tulisannya harus apik plus diksi yang mewah nan ilmiah, tidak. Yang penting belajar menulis dengan serius, itu dulu.
“Lha, emang mereka tahu cara mengirimnya, Kak?” tanya saya
“Bukan urusanku. Pokoknya naskah mereka harus terbit.”
Hasilnya, katanya, banyak mahasiswa semester 7 yang gagal. Nggak dapat nilai? Jelas. Padahal, sudah diingatkan berkali-kali sebelum UAS tiba.
Kejam? menurut saya tidak. Kak Shulhan mengaku hanya ingin mahasiswa bisa mandiri, tanpa hidup selalu penuh ketergantungan. Bergantung ke google, maksudnya.
Kak Shulhan bilang, bahwa mahasiswanya yang awalnya tidak tahu gimana caranya kirim naskah ke media online, mereka dengan sendirinya bisa tahu. Apalagi masih semester 3, sudah tahu cara bikin akun di Kompasiana hingga tahu mengupload artikelnya, sudah patut diapresiasi. Karena itu butuh proses, dan jelas tidak instan. Itulah yang Kak Shulhan butuhkan.
“Terlebih sudah semester 7, masak nggak mau belajar menulis?” katanya.
Shulhan ingin mahasiswa punya skill ganda
Menurut Kak Shulhan, kenapa UTS dan UAS nggak dibuat macam soal yang kebanyakan pada umumnya? Karena, pertama, malas membaca tulisan mahasiswa yang sedikit-banyak susah dibaca oleh dosennya.
Kedua, khawatir betul pada mahasiswanya takut mengambil jawaban dari google tanpa proses belajar yang serius. Hal itu, setelah Kak Shulhan mengetahui banyak mahasiswa yang nggak mencantumkan sumber jawaban. Makanya, metode belajarnya diubah, ya agar mahasiswa tidak terbiasa plagiasi tugas.
Nah, jika mendesain, mereka jadi tahu bagaimana caranya mengedit. Sebab, menurutnya, sekarang kan era digital, mahasiswa kudu kreatif. Jadi, selain tahu mengedit di Canva misalnya, setidaknya mereka juga dapat ilmu baru: aplikasi apa saja yang bagus untuk mendesain atau mengedit.
Begitu pula dengan keterampilan menulis. Dengan tugas menulis, mereka yang awalnya awam mengirim naskah ke media online, sekarang sudah punya pengetahuan tentangnya. Itulah yang dimaksud Kak Shulhan mahasiswa ingin punya skill ganda.